Kemacetan merupakan tanggung jawab kepala daerah
Nama : Ryanto faathir ilman alqarana
Kelas : 2ID02
NPM : 36412759
Mata Kuliah : Ilmu Sosial Dasar
Tugas Ke : 3
Dikutip Dari Salah Satu Sosial Media
Presiden SBY dinilai tidak bisa hanya menyalahkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan kepala daerah lain soal adanya kemacetan. Hal itu dikarenakan, secara nyata pemerintah pusat tak memiliki sistem transportasi makro, terutama sistem transportasi makro untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI), Andrinof Chaniago menilai, Presiden seharusnya tidak bisa lepas tangan atas kemacetan, seperti terjadi di DKI Jakarta dan Bandung, Jawa Barat.
“Pemerintah pusat juga mempunyai kewajiban membuat sistem transportasi makro Jabodetabek. Belum ada itu. Bukannya belum optimal, tapi memang belum ada,” kata Andrinof, saat dihubungi wartawan, di Jakarta, Senin (11/11).
Karena itu, Andrinof, meminta pemerintah pusat dan daerah tak saling menyalahkan. Bahkan fakta sebenarnya adalah pemerintah pusat sebenarnya juga punya kewajiban mengatasi kemacetan di wilayah ibukota dan sekitarnya.
“Pembagian urusan dan kewenangan antara pusat dan DKI Jakarta untuk mengatasi kemacetan di Jakarta itu sangat jelas, yakni masalah sistem transportasi makro Jabodetabek, tata ruang, dan kebijakan perumahan adalah urusan pemerintah pusat. Justru hal itulah yang sangat erat kaitannya dengan kemacetan,” ujarnya.
Sementara urusan yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kata Andrinof, adalah penambahan prasarana dan sarana transportasi. Sementara pengaturan lalu lintas merupakan tanggungjawab bersama antara Polda Metro Jaya dan Pemerintah Provinsi Ibukota.
“Yang pasti penanganan transportasi makro, terutama di Jabodetabek oleh pusat, belum ada. Artinya, macet di Jakarta itu, sebagian harusnya diakui tanggungjawab SBY sebagai Presiden,” ujarnya.
Diketahui sebelumnya, saat silaturahmi dengan pengurus Kadin di Istana Kepresidenan Bogor, pada 4 November lalu, Presiden SBY menyebut gubernur, bupati, dan walikota yang patut ditanyai dan wajib menjelaskan masalah kemacetan dan solusinya.
“Kalau biang kemacetan misalnya di Jakarta, serahkan kepada Pak Joko (Gubernur DKI Jakarta Jokowi). Biang kemacetan misalnya di Bandung, datanglah ke Pak Heryawan (Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan) atau Walikota Bandung,” ujar Presiden SBY.
Terkait pernyataan SBY tersebut, Jokowi menilai urusan menangani kemacetan di Ibukota bukan hanya tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saja. Namun juga menjadi tanggung jawab dari Pemerintah Pusat.
“Jalan-jalan ada yang jadi tanggungjawab pusat dan daerah, kemudian jalan lintas wilayah nggak bisa saya koordinir. Itu kan Jabodetabek, itu urusan pusat, busway juga, itu menjadi tanggungjawab bersama,” kata Jokowi.
Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran, Muradi, mengatakan, dalam kajian ilmu politik, kritik adalah alat kontrol baik yang dilakukan oleh publik maupun elit politik, secara individu maupun kelompok. Namun yang menjadi masalah, hal tersebut dilakukan oleh SBY yang notabene adalah bagian dari suprastruktur politik.
“Yang harusnya menjadi bagian yang dikritisi akibat kemacetan Jakarta yang belum benar-benar terurai. Bahwa Jokowi telah melakukan berbagai stimulasi adalah bagian dari bukti bahwa mantan walikota Solo tersebut bekerja,” katanya.
Dalam pandangannya, ada pemahaman dan perasaan politik yang anomali dari Presiden SBY berkaitan dengan kritik tentang kemacetan di Jakarta. Sebab, Jakarta adalah daerah khusus ibukota yang sebagian besar urusan dan masalahnya akan selalu terkait dengan pemerintah pusat.
Menurutnya, dalam konteks Jakarta, setiap pengembangan dan pembangunannya, pasti ada campur tangan pemerintah pusat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar